Sabtu, 21 Januari 2012

Menuntut Ilmu Sepanjang Hayat

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimat. Tuntutlah ilmu sejak buaian sampai lubang kubur. Tiada amalan umat yang lebih utama daripada belajar”. Belajar sepanjang hayat ini dikemukakan oleh Edgar Faure dari The International Council of Educational Development (ICED) atau Komisi Internasional Pengembangan Pendidikan. Sebagai ketua Komisi tersebut Edgar Faure mengatakan : With its confidence in man’s capacity to perfect himself through education, the Moslem world was among the first to recommend the idea of lifelong education, exhorting Moslem to educate themselves from cradle to the grave. (Faure, 1972, h.8) Islam mewajibkan pemeluknya untuk belajar dan mengembangkan kemampuan nalarnya secara terus menerus bukan saja terhadap objek-objek di luar dirinya, tetapi juga terhadap kehidupannya sendiri baik sebagai perorangan maupun sebagai suatu komunitas. Seperti dikemukakan oleh Andrias Harefa (2000) bahwa pembelajaran akan mampu membuat manusia tumbuh dan berkembang sehingga berkemampuan, menjadi dewasa dan mandiri. Manusia mengalami transformasi diri, dari belum/tidak mampu menjadi mampu atau dari ketergantungan menjadi mandiri. Dan, transformasi diri ini seharusnya terus terjadi sepanjang hayat, asalkan ia tidak berhenti belajar, asal ia tetap menyadari keberadaannya yang bersifat present continuous, on going process, atau on becoming. Persoalannya adalah, sebagian besar manusia tidak mendisiplinkan dirinya untuk tetap belajar tanpa henti. Sebagian besar manusia berhenti belajar setelah merasa dewasa. Sikap gede rasa ini umumnya disebabkan oleh kebodohan yang bersifat sosial dan mental/ psiko-spiritual. Sebagian orang merasa telah dewasa karena telah berusia di atas 17 atau 21, atau telah selesai sekolah atau kuliah, telah memiliki gelar akademis, telah memiliki pasangan hidup, telah memiliki pekerjaan dan jabatan yang memberinya nafkah lahiriah. Hal-hal itu telah membuat mereka berhenti belajar, sehingga tidak lagi mengalami transformasi-transformasi dalam kehidupannya, sehingga mereka tidak siap mengantisipasi perubahan-perubahan yang timbul. Sebaliknya bagi mereka yang senantiasa menjadikan proses belajar merupakan bagian dari kehidupannya mereka akan senantiasa siap mengantisipasi perubahan yang timbul atau bahkan perubahan yang diperoleh mereka sebagai akibat langsung dari proses belajar yang senantiasa mereka lakukan. Konsekwensi perubahan yang terjadi akan menjadi titik tolak bagi mereka untuk senantiasa terus belajar – on becoming a learner istilah yang dipakai Andrias Harefa- untuk selalu siap mengantisipasi perubahan yang akan muncul lagi sebab perubahan merupakan sesuatu yang abadi, selamanya akan muncul on and on. Kegiatan pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok diantaranya kegiatan yang terjadi pada jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Pada jalur pendidikan luar sekolah, sejak kehadirannya, kegiatan pembelajaran kelompok menjadi ciri utama. Dalam perkembangannya, kegiatan pembelajaran dalam pendidikan luar sekolah telah memperoleh dukungan dari berbagai teori pembelajaran dan dari pengalaman para praktisi di lapangan sehingga muncul kegiatan pembelajaran partisipatif. Dewasa ini pembelajaran partisipatif tidak saja digunakan dalam program-program pendidikan luar sekolah tetapi juga di beberapa kawasan di dunia ini, dan telah diserap serta diterapkan pada program-program pendidikan sekolah. Dengan demikian pembelajaran partisipatif telah menjadi bagian dari strategi pembelajaran yang dapat digunakan dan dikembangkan di dalam proses pendidikan baik di satuan pendidikan sekolah maupun satuan pendidikan luar sekolah. Upaya penerapan pembelajaran partisipatif pada pendidikan sekolah dapat dipertegas dengan menekankan peranan pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar secara aktif dan partisipatif. Keterlibatan pendidik dapat meliputi dua hal penting, diantaranya, pertama, dalam penyusunan dan pengembangan program belajar serta yang kedua, dalam upaya menumbuhkan kondisi supaya peserta didik melakukan kegiatan belajar partisipatif. Keterlibatan dalam penyusunan dan pengembangan program pembelajaran, pendidik bersama peserta didik melakukan asesmen kebutuhan belajar; identifikasi sumber-sumber dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran; menyusun tujuan belajar, menetapkan komponen dan proses pembelajaran, serta melaksanakan dan menilai program pembelajaran. Keterlibatan pendidik dalam menumbuhkan situasi belajar yang kondusif bagi peserta didik untuk belajar meliputi upaya menciptakan iklim belajar yang partisipatif. Knowles mengemukakan ada tujuh langkah pendidik yang dapat membantu peserta didik untuk belajar partisipatif. Ketujuh langkah tersebut adalah membantu peserta didik untuk: (1) menumbuhkan keakraban yang mendorong untuk belajar, (2) menjadi anggota kelompok dan belajar dalam kelompok, (3) mendiagnosis kebutuhan belajar, (4) merumuskan tujuan belajar, (5) menyusun pengalaman belajar, 6) melaksanakan kegiatan belajar, dan (7) melakukan penilaian terhadap proses, hasil, dan pengaruh belajar. Produk dari suatu proses pembelajaran baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah adalah perubahan tingkah laku peserta didik selama dan setelah mengikuti proses pembelajaran. Perubahan perilaku tersebut mencakup ranah (domain) afektif, kognitif, dan psiko-motorik serta konatif. Ranah afektif adalah sikap dan aspirasi peserta didik dalam lingkungannya melalui tahapan penerimaan stimulus, respons, penilaian, pengorganisasian, dan karakterisasi diri dalam menghadapi stimulus dari lingkungan. Ranah Kognitif adalah kecakapan peserta didik yang diperoleh melalui pengetahuan, pemahaman, penggunaan, analisis, sintesis, dan evaluasi terhadap sesuatu berdasarkan asas-asas dan fungsi kelimuan. Asas keilmuan yang objektivitas, observabilitas, dapat diukur, dan bernilai guna, sedangkan fungsi keilmuan adalah menggambarkan, menjelaskan, memprediksi, dan mengandalkan. Psiko-motorik atau skills adalah penguasaan dan penggunaan sesuatu keterampilan melalui tahapan rangsangan, kesiapan merespons, bimbingan “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimat. Tuntutlah ilmu sejak buaian sampai lubang kubur. Tiada amalan umat yang lebih utama daripada belajar”. Belajar sepanjang hayat ini dikemukakan oleh Edgar Faure dari The International Council of Educational Development (ICED) atau Komisi Internasional Pengembangan Pendidikan. Sebagai ketua Komisi tersebut Edgar Faure mengatakan : With its confidence in man’s capacity to perfect himself through education, the Moslem world was among the first to recommend the idea of lifelong education, exhorting Moslem to educate themselves from cradle to the grave. (Faure, 1972, h.8) Islam mewajibkan pemeluknya untuk belajar dan mengembangkan kemampuan nalarnya secara terus menerus bukan saja terhadap objek-objek di luar dirinya, tetapi juga terhadap kehidupannya sendiri baik sebagai perorangan maupun sebagai suatu komunitas. Seperti dikemukakan oleh Andrias Harefa (2000) bahwa pembelajaran akan mampu membuat manusia tumbuh dan berkembang sehingga berkemampuan, menjadi dewasa dan mandiri. Manusia mengalami transformasi diri, dari belum/tidak mampu menjadi mampu atau dari ketergantungan menjadi mandiri. Dan, transformasi diri ini seharusnya terus terjadi sepanjang hayat, asalkan ia tidak berhenti belajar, asal ia tetap menyadari keberadaannya yang bersifat present continuous, on going process, atau on becoming. Persoalannya adalah, sebagian besar manusia tidak mendisiplinkan dirinya untuk tetap belajar tanpa henti. Sebagian besar manusia berhenti belajar setelah merasa dewasa. Sikap gede rasa ini umumnya disebabkan oleh kebodohan yang bersifat sosial dan mental/ psiko-spiritual. Sebagian orang merasa telah dewasa karena telah berusia di atas 17 atau 21, atau telah selesai sekolah atau kuliah, telah memiliki gelar akademis, telah memiliki pasangan hidup, telah memiliki pekerjaan dan jabatan yang memberinya nafkah lahiriah. Hal-hal itu telah membuat mereka berhenti belajar, sehingga tidak lagi mengalami transformasi-transformasi dalam kehidupannya, sehingga mereka tidak siap mengantisipasi perubahan-perubahan yang timbul. Sebaliknya bagi mereka yang senantiasa menjadikan proses belajar merupakan bagian dari kehidupannya mereka akan senantiasa siap mengantisipasi perubahan yang timbul atau bahkan perubahan yang diperoleh mereka sebagai akibat langsung dari proses belajar yang senantiasa mereka lakukan. Konsekwensi perubahan yang terjadi akan menjadi titik tolak bagi mereka untuk senantiasa terus belajar – on becoming a learner istilah yang dipakai Andrias Harefa- untuk selalu siap mengantisipasi perubahan yang akan muncul lagi sebab perubahan merupakan sesuatu yang abadi, selamanya akan muncul on and on. Kegiatan pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok diantaranya kegiatan yang terjadi pada jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Pada jalur pendidikan luar sekolah, sejak kehadirannya, kegiatan pembelajaran kelompok menjadi ciri utama. Dalam perkembangannya, kegiatan pembelajaran dalam pendidikan luar sekolah telah memperoleh dukungan dari berbagai teori pembelajaran dan dari pengalaman para praktisi di lapangan sehingga muncul kegiatan pembelajaran partisipatif. Dewasa ini pembelajaran partisipatif tidak saja digunakan dalam program-program pendidikan luar sekolah tetapi juga di beberapa kawasan di dunia ini, dan telah diserap serta diterapkan pada program-program pendidikan sekolah. Dengan demikian pembelajaran partisipatif telah menjadi bagian dari strategi pembelajaran yang dapat digunakan dan dikembangkan di dalam proses pendidikan baik di satuan pendidikan sekolah maupun satuan pendidikan luar sekolah. Upaya penerapan pembelajaran partisipatif pada pendidikan sekolah dapat dipertegas dengan menekankan peranan pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar secara aktif dan partisipatif. Keterlibatan pendidik dapat meliputi dua hal penting, diantaranya, pertama, dalam penyusunan dan pengembangan program belajar serta yang kedua, dalam upaya menumbuhkan kondisi supaya peserta didik melakukan kegiatan belajar partisipatif. Keterlibatan dalam penyusunan dan pengembangan program pembelajaran, pendidik bersama peserta didik melakukan asesmen kebutuhan belajar; identifikasi sumber-sumber dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran; menyusun tujuan belajar, menetapkan komponen dan proses pembelajaran, serta melaksanakan dan menilai program pembelajaran. Keterlibatan pendidik dalam menumbuhkan situasi belajar yang kondusif bagi peserta didik untuk belajar meliputi upaya menciptakan iklim belajar yang partisipatif. Knowles mengemukakan ada tujuh langkah pendidik yang dapat membantu peserta didik untuk belajar partisipatif. Ketujuh langkah tersebut adalah membantu peserta didik untuk: (1) menumbuhkan keakraban yang mendorong untuk belajar, (2) menjadi anggota kelompok dan belajar dalam kelompok, (3) mendiagnosis kebutuhan belajar, (4) merumuskan tujuan belajar, (5) menyusun pengalaman belajar, 6) melaksanakan kegiatan belajar, dan (7) melakukan penilaian terhadap proses, hasil, dan pengaruh belajar. Produk dari suatu proses pembelajaran baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah adalah perubahan tingkah laku peserta didik selama dan setelah mengikuti proses pembelajaran. Perubahan perilaku tersebut mencakup ranah (domain) afektif, kognitif, dan psiko-motorik serta konatif. Ranah afektif adalah sikap dan aspirasi peserta didik dalam lingkungannya melalui tahapan penerimaan stimulus, respons, penilaian, pengorganisasian, dan karakterisasi diri dalam menghadapi stimulus dari lingkungan. Ranah Kognitif adalah kecakapan peserta didik yang diperoleh melalui pengetahuan, pemahaman, penggunaan, analisis, sintesis, dan evaluasi terhadap sesuatu berdasarkan asas-asas dan fungsi kelimuan. Asas keilmuan yang objektivitas, observabilitas, dapat diukur, dan bernilai guna, sedangkan fungsi keilmuan adalah menggambarkan, menjelaskan, memprediksi, dan mengandalkan. Psiko-motorik atau skills adalah penguasaan dan penggunaan sesuatu keterampilan melalui tahapan rangsangan, kesiapan merespons, bimbingan dlam melakukan respons, gerakan mekanik, respons yang lebih kompleks, adaptasi, dan melakukan sendiri. Tegasnya perubahan tingkah laku peserta didik dalam ranah afektif, kognitif, psiko-motorik, dan konatif merupakan produk pembelajaran.

Jumat, 06 Januari 2012

Perjalanan Jauh Bimbingan dan Konseling sebagai Sebuah Profesi

Kehadiran layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang cukup panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu, bersamaan dengan munculnya kebutuhan akan penjurusan di.SMA pada saat itu. Selama perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian nama, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan sekarang. Akhir-akhir ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski secara formal istilah ini belum digunakan. Bersamaan dengan perubahan nama tersebut, didalamnya terkandung berbagai usaha perubahan untuk memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi. Kendati demikian harus diakui bahwa untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang dapat memberikan manfaat banyak, hingga saat ini tampaknya masih perlu kerja keras dari semua pihak yang terlibat dengan profesi bimbingan dan konseling. Dalam tataran teoritis, teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya dan bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam pembelajaran untuk mata pelajaran – mata pelajaran di sekolah. Perkembangan teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling, baik yang bersumber dari penelitian maupun hasil pemikiran kritis para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun sepertinya tersimpan rapih dalam gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para konselor di lapangan. Di sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan melalui penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang sepenuhnya sehingga kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi bimbingan dan konseling. Kendala terbesar yang dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum dirasakan oleh masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan lama, bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah“pun hingga kini masih melekat kuat pada sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut pandangan penulis, setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap laju perkembangan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia , yaitu : 1. Kelangkaan Tenaga Konselor Tenaga konselor yang berlatar bimbingan dan konseling memang masih belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Selama ini masih banyak sekolah yang menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling tanpa didukung oleh tenaga konselor profesional dalam jumlah yang memadai. Sehingga, tenaga bimbingan dan konseling terpaksa banyak direkrut dari non bimbingan dan konseling, yang mungkin hanya dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling, yang tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja bimbingan dan konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga. Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply. Tingkat produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan penghasil tenaga konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya relatif tidak merata. Contoh kasus, di beberapa daerah ketika melakukan rekrutment untuk tenaga konselor dalam testing Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata tidak terisi, bukan dikarenakan tidak ada peminatnya, tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi ini merupakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah mampu menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya kebutuhan tenaga konselor di daerahnya. Oleh karena itu, ke depannya perlu dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pencetak tenaga konselor untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan memperhitungkan segi kuantitas, kualitas dan distribusinya., sehingga kelangkaan tenaga konselor dapat segera diatasi. 2. Kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap profesi bimbingan dan konseling Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri. Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya. Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling. Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi bimbingan dan konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar bimbingan dan konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan bimbingan dan konseling untuk hari ini dan ke depannya. Walaupun dalam hal ini mungkin akan terjadi tawar-menawar yang cukup alot di dalamnya, tetapi keputusan yang terbaik demi kemajuan profesi bimbingan dan konseling tetap harus segeradiambil. ! Dengan teratasinya kelangkaan tenaga konselor dan keberhasilan upaya pemerintah dalam menata profesi bimbingan dan konseling, niscaya pada gilirannya akan memberikan dampak bagi perkembangan konseling ke depannya, sehingga profesi konseling bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah profesi yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan kemajuan negeri ini. Jika tidak, maka profesi bimbingan dan konseling tetap saja dalam posisi termarjinalkan.

Pentingnya Rasa Cinta dalam Pendidikan

Sebagai salah satu bentuk emosi individu, rasa cinta bisa hadir dalam subjek dan objek serta situasi yang beragam. Dalam pendidikan pun sebenarnya terdapat rasa cinta, baik yang dialami oleh guru, siswa, atau orang lainnya yang terlibat dalam pendidikan. Sebagai perwujudan dari sikap profesionalnya, selain dituntut untuk dapat memiliki rasa cinta terhadap pekerjaan yang digelutinya, seorang guru juga penting untuk dapat memiliki rasa cinta terhadap peserta didiknya. Bentuk manifestasi cinta guru terhadap peserta didiknya tentunya berbeda dengan bentuk manifestasi jenis cinta lainnya, seperti cinta erotis, cinta Tuhan, atau cinta orang tua. Walau pun dalam kasus-kasus tertentu didapati tumpang tindih dalam mewujudkan rasa cintanya, dimana kecintaan terhadap peserta didik berubah menjadi cinta erotis, yang tentu saja menjadi sangat berbeda dan bertolak belakang dari makna yang sesungguhnya. Perasaan cinta guru terhadap seluruh peserta didiknya merupakan hal yang amat penting dan dianggap sebagai alat utama dalam pendidikan. Hal yang menjadi tragis ketika para pendidik senantiasa disibukkan dan dituntut untuk menguasai bahan ajar atau mengembangkan metode dan teknologi pembelajaran tertentu, tetapi mereka justru melupakan pentingnya rasa cinta terhadap peserta didik. Penguasaan bahan ajar dan metode dan teknologi pembelajaran oleh guru memang penting, tetapi jika proses pendidikan harus melupakan aspek cinta sebagai alat utamanya maka pendidikan akan terasa menjadi kering dan kehilangan ruhnya. Mungkin kita bertanya, kenapa mahasiswa berdemo secara anarkis? Kenapa ada sekelompok siswa perempuan membentuk gank yang menebarkan kebencian? Kenapa ada orang berpendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana, tetapi mereka justru menimbulkan kesengsaraan kepada banyak orang melalui perilaku korupsinya? Tampaknya disinilah pentingnya pendidik untuk dapat mengembangkan rasa cintanya secara konstruktif dalam berhubungan dengan siswanya, yang diwujudkan dalam bentuk rasa empati, memperhatikan kebahagiaan, kesejahteraan dan perkembangan dari para peserta didiknya, melakukan berbagai upaya dan turut membantu para peserta didiknya untuk mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemajuan. Melaui proses pendidikan yang didasari rasa cinta, pada gilirannya selain dapat mengantarkan seseorang memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, meraih kedudukan yang terhormat dan kekayaan yang melimpah, juga diharapkan dapat membelajarkan kepada peserta didiknya untuk mengenal dan memiliki rasa cinta, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi sosok -manusia yang penuh kecintaan, baik terhadap dirinya, sesamanya dan Tuhannya.

Kesalahan Perlakuan Fisik dan Psikologis di Kelas

Kesalahan Perlakuan Fisik dan Psikologis di Kelas Oleh : Akhmad Sudrajat*)) sekolah berbahayaDalam bukunya yang berjudul “DangerousSchool”, Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook (1999) memaparkan tentang sekolah berbahaya. Buku tersebut ditulis berdasarkan hasil pengalaman dan pengamatannya dalam menjalankan profesinya sebagai psikolog sekolah (school psychologist) selama lebih dari tiga puluh tahun. Dari berbagai kasus yang ditanganinya dan juga kasus-kasus lain yang diamatinya, dia mengungkapkan tentang sekolah berbahaya yang ditandai dengan adanya sejumlah kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment) di kelas. Yang menjadi pusat perhatian tentang kesalahan perlakuan fisik di kelas yaitu berkenaan dengan pemberian hukuman fisik (corporal punishment) oleh guru terhadap siswanya. Banyak ragam tindakan pemberian hukuman fisik yang ditemukan, mulai dari menyuruh siswa melakukan push-up sampai dengan tindakan pemukulan, biasanya dengan dalih pendisiplinan. Tindakan hukuman fisik ternyata tidak hanya menimbulkan rasa sakit secara fisik tetapi juga dapat menyebabkan gangguan stress traumatik (posttraumatic stress disorder), dan masalah-masalah emosional bagi yang mengalaminya. Dalam beberapa kasus, tindakan hukuman fisik pun telah menimbulkan berbagai pengaduan (complain) dari para orang tua, bahkan sampai dengan menyeret pelakunya ke pengadilan. Selain mengungkap tentang kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment), Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook juga mengungkapkan tentang adanya kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), yang meliputi : Pendisiplinan dan teknik pengawasan berdasarkan ketakutan dan intimidasi. Rendahnya jumlah interaksi humanis, yakni guru kurang menunjukkan perhatian, kepedulian dan kasih sayang dalam berkomunikasi dengan siswanya sehingga siswa menjadi terabaikan, terkucilkan dan tertolak. Kesempatan yang terbatas bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan dan rasa kehormatan dirinya (feelings of self- worth) secara memadai. Menciptakan sikap ketergantungan dan kepatuhan, justru pada saat siswa sebenarnya mampu untuk mengambil keputusannya secara mandiri. Teknik pemotivasian kinerja siswa dengan banyak mencela, tuntutan yang berlebihan, tidak rasional, serta mengabaikan tingkat usia dan kemampuan siswa. Penolakan terhadap kesempatan pengambilan resiko yang sehat (healthy risk) taking), seperti : penolakan pengeksplorasian gagasan siswa yang tidak lazim dan tidak sesuai dengan pemikiran gurunya. Ungkapan kata-kata kasar, mengejek, penghinaan dan pencemaran nama baik. Mengkambinghitamkan dan menggertak Kegagalan dalam mengatasi suasana ketika ada siswa yang diolok-olok, dicemarkan nama baiknya, dan dijadikan kambing hitam oleh teman-temannya. Kedua bentuk kesalahan perlakuan tersebut pada dasarnya telah mengabaikan keadilan dan demokrasi dalam pendidikan. Oleh karena itu, Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook memandang perlunya upaya untuk menciptakan iklim sekolah yang sehat dan kehidupan yang demokratis di sekolah.

Teknik Membaca SQ3R

Teknik Membaca SQ3R Posted on 06 Januari 2012 Teknik Membaca SQ3RAgar setiap aktivitas membaca yang dilakukan dapat berjalan efektif dan efisien, kiranya diperlukan teknik tertentu. Dalam hal ini, Francis P. Robinson dari Universitas Negeri Ohio Amerika Serikat telah mengembangkan sebuah teknik membaca yang dikenal dengan sebutan SQ3R. Teknik ini bersifat praktis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai pendekatan belajar. SQ3R pada prinsipnya merupakan singkatan dari langkah-langkah mempelajari teks atau buku yang terdiri dari : (1) Survey; (2) Question; (3) Read; (4) Recite; dan (5) Review . Dengan merujuk pada pemikiran Muhibbin Syah (2003), di bawah ini akan diuraikan secara singkat langkah-langkah teknik membaca ini. 1. Survey Pada langkah yang pertama ini dilakukan penelaahan sepintas kilas terhadap seluruh struktur teks. Tujuannya adalah untuk mengetahui panjangnya teks, judul bagian (heading), judul subbagian (sub-heading), istilah, kata kunci, kalimat kunci, dan hal-hal lainnya yang dianggap penting dalam tulisan itu, sehingga diperoleh gambaran yang bersifat umum dari isi yang terkandung dalam buku atau teks. Dalam melakukan survey, dianjurkan menyiapkan pensil, kertas, dan alat pembuat ciri seperti stabilo (berwarna kuning, hijau dan sebagainya) untuk menandai bagian-bagian tertentu. Bagian-bagian penting akan dijadikan sebagai bahan pertanyaan yang perlu ditandai untuk memudahkan proses penyusunan daftar pertanyaan yang akan dilakukan pada langkah kedua. 2. Question Langkah kedua adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan yang jelas, singkat, dan revelan dengan bagian-bagian teks yang telah ditandai pada langkah pertama. Jumlah pertanyaan bergantung pada panjang-pendeknya teks, dan kemampuan dalam memahami teks yang sedang dipelajari. Jika teks yang sedang dipelajari berisi hal-hal yang sebelumnya sudah diketahui, mungkin hanya perlu membuat beberapa pertanyaan. Sebaliknya, apabila latar belakang pengetahuan tidak berhubungan dengan isi teks, maka perlu menyusun pertanyaan sebanyak-banyaknya. 3. Read Langkah ketiga adalah membaca secara aktif dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun. Dalam hal ini, membaca secara aktif juga berarti membaca yang difokuskan pada paragraf-paragraf yang diperkirakan mengandung jawaban-jawaban yang diperkirakan relevan dengan pertanyaan yang telah disusun pada langkah kedua. 4. Recite Langkah keempat adalah menyebutkan atau menceritakan kembali jawaban-jawaban atas pertanyaan yang telah tersusun. Sedapat mungkin diupayakan tanpa membuka catatan jawaban sebagaimana telah dituliskan dalam langkah ketiga. Jika sebuah pertanyaan tidak terjawab, diusahakan tetap terus melanjutkan untuk menjawab pertanyaan berikutnya. Demikian seterusnya, hingga seluruh pertanyaan, termasuk yang belum terjawab, dapat diselesaikan dengan baik. 5. Review Pada langkah terakhir dilakukan peninjauan ulang atas seluruh pertanyaan dan jawaban sehingga diperoleh sebuah kesimpulan yang singkat, tetapi dapat menggambarkan seluruh jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan. Meski terkesan sangat mekanistik, tetapi membaca dengan menggunakan SQ3R ini dianggap lebih memuaskan, karena dengan teknik ini dapat mendorong seseorang untuk lebih memahami apa yang dibacanya, terarah pada intisari atau kandungan-kandungan pokok yang tersirat dan tersurat dalam suatu buku atau teks Selain itu, langkah-langkah yang ditempuh dalam teknik ini tampaknya sudah menggambarkan prosedur ilmiah, sehingga diharapkan setiap informasi yang dipelajari dapat tersimpan dengan baik dalam sistem memori jangka panjang seseorang. Untuk menempuh kelima prosedur di atas pada awalnya mungkin akan dirasakan berbelit-belit, tetapi dengan membiasakan secara terus-menerus lama kelamaan akan menjadi hal yang biasa. Bagi Anda yang belum terbiasa, selamat mencoba dan mudah-mudahan sukses !

Kamis, 29 Desember 2011

Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka diperlukan langkah pasti bagi pembinaan PNS baik di daerah maupun di pusat. Oleh karena pendidik dan tenaga kependidikan adalah pegawai negeri sipil, maka sudah selayaknya peraturan ini diketengahkan didalam media ini untuk bahan pemikiran dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya menjalankan pengelolaan pendidikan. Adapun kewajiban pegawai negeri sipil sebagaimana diatur dalam pasal 3 adalah sebagai berikut: 1. Mengucapkan sumpah/janji PNS. 2. Mengucapkan sumpah/janji jabatan. 3. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah. 4. Menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan, 5. Melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab. 6. Menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan PNS. 7. Mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang dan/atau golongan. 8. Memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan. 9. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan negara. 10.Melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau pemerintah, teruta ma di bidang keamanan, keuangan dan materiil. 11. Masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, 12. Mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan, 13. Menggunakan dan memelihara barang milik negara dengan sebaik-baiknya, 14. Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. 15. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas. 16. Memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier, 17, Menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan larangan bagi PNS sebagaimana diatur dalam pasal 4 adalah sebagai berikut: 1. Menyalahgunakan wewenang, 2. Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain. 3. Tanpa ijin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional. 4. Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing. 5. Memiliki, menjual, membeli menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah. 6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan atau orang lain didalam maupun diluar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara, 7. Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung maupun tdk langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan. 8. Menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya. 9. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahnya, 10. Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani. 11. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan. 12. Memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, DPR, DPD atau DPRD dengan cara: (lihat PP). 13. Memberikan dukungan ke pada calon presiden/wakil presiden dengan cara: (lihat PP). 14. Memberikan dukungan ke pada calon anggota DPRD atau calon kepala daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai fotocopy KTP atau surat keterangan Tanda Penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan, 15.Memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan cara: (lihat PP). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini juga diatur jenis dan macam hukuman disiplin yang akan dijatuhkan berdasar pelanggaran yang dilakukan PNS serta pejabat yang berwenang untuk menghukumnya disertai upaya membela diri dari PNS tersebut. Demikian uraian kewajiban dan larangan bagi PNS termasuk pendidik dan tenaga kependidikan, kini tergantung pada masing-masing PNS untuk melaksanakan. Read more: http://www.mediapendidikan.info/2010/11/kewajiban-dan-larangan-bagi-pegawai-negeri-sipil.html#ixzz1hyFAMcE7 Media Pendidikan Under Creative Commons License: Attribution

PP 48 tentang pendanaan Pendidikan

Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 4 Juli 2008 ini sedikit banyak telah menyebabkan adanya perobahan yang sangat mendasar bagi pelaksanaan pendidikan dalam rangka mengemban amanat pendiri bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi kalangan pejabat pemerintah dibidang pendidikan ditingkat pusat maupun regional hal ini mungkin tidak begitu menyulitkan, akan tetapi dikalangan pejabat bidang pendidikan ditingkat kabupaten maupun kota akan sangat memerlukan ekstra hati-hati mengingat beliau beliau inilah yang langsung berhubungan dengan sekolah-sekolah dibawah kordinasinya. Mengapa ? Dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 diuraikan dengan jelas bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat; sedang pada ayat (2) dijelaskan bahwa masyarakat yang dimaksud adalah meliputi (a) penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat, (b) peserta didik, orangtua atau wali peserta didik dan (c) pihak-pihak lain yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Pengertian pada pasal 2 ini merupakan pengaturan lebih lanjut daripada Bab XIII pasal 46 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang intinya adalah bahwa pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. KOMPONEN BEAYA PENDIDIKAN Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 menguraikan secara terperinci mengenai definisi dan komponen beaya pendidikan yang merupakan tanggung jawab pemerintah dialokasikan dalam APBN dan yang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dialokasikan dalam APBD sesuai dengan sistem penganggaran dalam peraturan perundang-undangan. Adapun komponen beaya pendidikan adalah beaya satuan pendidikan, beaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan dan beaya pribadi peserta didik. TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH Tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 31 meliputi beaya investasi satuan pendidikan, beaya investasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, beaya operasi satuan pendidikan, beaya operasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, bantuan beaya pendidikan dan beasiswa serta pendanaan pendidikan di luar negeri. Beaya Investasi satuan pendidikan dan beaya investasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan yang merupakan tanggung jawab pemerintah akan meliputi beaya investasi lahan pendidikan dan beaya investasi selain lahan pendidikan. Sedang beaya operasi satuan pendidikan dan beaya operasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan yang merupakan tanggung jawab pemerintah akan meliputi beaya personalia dan beaya non-personalia. Demikian pula dengan bantuan beaya, beasiswa dan pendanaan pendidikan diluar negeri semuanya diatur dengan jelas dalam peraturan pemerintah nomor 48 tahun 2008 dengan disertai dengan ancaman pengenaan sangsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. TANGGUNG JAWAB MASYARAKAT Tanggung jawab masyarakat dalam pendanaan pendidikan dapat dibagi dalam 2 (dua) katagori, yaitu tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat dan tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh masyarakat diluar penyelenggara dan satuan pendidikan yang didirikan masyarakat. Komponen beaya pendidikan pada penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat akan meliputi beaya investasi satuan pendidikan, beaya investasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, beaya operasi satuan pendidikan, beaya operasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, bantuan beaya pendidikan dan beasiswa. Sedangkan tanggung jawab masyarakat diluar penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat atau dengan kata lain tanggung jawab masyarakat selaku orangtua atau wali peserta didik akan meliputi beaya pribadi peserta didik, beaya investasi selain lahan yang diperlukan untuk menutupi kekurangan pendanaan, beaya personalia yang diperlukan untuk menutupi kekurangan pendanaan dan pendanaan sebagian dari beaya operasi pendidikan dalam rangka pengembangan sekolah yang biasanya dipungut berdasarkan musyawarah dan mufakat melalui Komite Sekolah. STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pada bab IX diatur jelas tentang perlu adanya standar nasional pendidikan yang meliputi standar isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembeayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar Nasional Pendidikan ini digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembeayaan dan sebagainya. Dengan adanya maksud untuk mencapai standar nasional pendidikan tersebut, maka sangat dibutuhkan tambahan pembeayaan diluar kemampuan pemerintah maupun pemerintah daerah. Sehingga bagi sekolah yang memenuhi persyaratan diajukan untuk meningkatkan standar nasional pendidikannya, apakah itu Sekolah Standar Nasional (SSN) atau Sekolah Standar Internasional (SSI) diperlukan partisipasi masyarakat dan juga dunia usaha untuk mendanainya. Dengan dasar itulah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 juga masih mematok masyarakat untuk ikut mendanai pendidikan dengan ketentuan harus didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan transparan serta dapat dipertanggung jawabkan sebagaimana diuraikan pada bab V pasal 50, pasal 51 dan pasal 52. SEKOLAH GRATIS, MUNGKINKAH ? Dengan memahami Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008, maka akan dapat dirumuskan secara sederhana apakah bisa menyelenggakan sekolah gratis hanya dengan alasan gaji guru sudah dinaikkan, adanya tunjangan sertifikasi dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dinaikkan sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar masyarakat. Jawaban pertama “BISA”, dengan catatan bilamana pendanaan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) telah mencukupi semua kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan. Sehingga masyarakat tidak ikut serta mendanai pendidikan sama sekali alias GRATIS, akan tetapi hal ini tentunya bertentangan dengan pasal 46 ayat (1) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Jawaban kedua “BISA” , walaupun pendanaan pendidikan dari pihak pemerintah dan pemerintah daerah belum mencukupi semua kebutuhan dana penyelenggaraan pendidikan, dengan catatan pengelolaan pendidikannya akan jauh dibawah standar nasional pendidikan. Dan hal ini tentunya juga bertentangan dengan pasal 35 Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jawaban ketiga “TIDAK BISA”, karena pada tahun anggaran 2009 ini hanya pemerintah pusat yang berkewajiban mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasioanl diluar gaji guru (PNS) sebagai konsekwensi keberhasilan Pengurus PGRI dalam uji materi Undang Undang tentang APBN terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI/2008). Sedangkan sebagian besar pemerintah propinsi dan pemerintah daerah diseluruh Indonesia masih belum siap, mengingat penyerapan anggaran untuk membayar gaji guru (PNS) sudah melampau 20%. SOLUSI Sebagai solusi atas adanya dilemma masalah pendanaan pendidikan tersebut, banyak kalangan mengajukan konsep subsidi silang yang artinya bagi orang yang tidak mampu tetap dapat menikmati pendidikan secara gratis. Sedangkan bagi orang yang mampu sebaiknya tetap dikenakan beaya sebagaimana dikehendaki dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008. Namun semuanya berpulang kepada semua pihak yang berkepentingan dalam dunia pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara satuan pendidikan dan masyarakat dan/atau orangtua / wali peserta didik. Read more: http://www.mediapendidikan.info/2010/03/mencoba-memahami-pp-no-48-tahun-2008.html#ixzz1hyDczQc3 Media Pendidikan Under Creative Commons License: Attribution